Pada saat-saat terakhir menjelang kelulusan SMA dan tiba saatnya pemilihan universitas, entah kenapa sebagian dari kita sering sekali di-mindset tentang buruknya kehidupan perkuliahan. Hal yang paling sering adalah sikap individualis dari mahasiswa. Pokoknya, kata mereka, pertemanan di dunia perkuliahan itu buruk sekali deh. Pertama, kamu tidak akan punya teman yang benar-benar "teman", karena di fase ini semua orang hanya memikirkan bagaimana membuat diri mereka sukses jadi mereka hanya akan berteman denganmu untuk mengambil keuntungan. Kedua, mahasiswa ini cuma akan memikirkan diri mereka, kalau mau bertahan hidup di perkuliahan, kamu harus kuat dan mandiri karena tidak akan ada orang yang membatumu, walaupun cuma memberi informasi kecil. Ketiga, bagaimanapun teman SMA adalah segalanya, masa SMA adalah masa terindah, dan masa kuliah cuma akan kamu lewati begitu saja sebagai batu loncatan mendapat gelar supaya bisa bekerja. Anehnya, setelah berkata seperti itu, mereka bilang agar berlatih bekerja sama dan mengumpulkan koneksi yang berguna untuk karir di masa depan. Intinya, disuruh banyak mencari teman di perkuliahan. Paradoks abis.
Sebagai manusia cupu yang tidak cukup berhasil melewati dunia pertemanan di SMA, keadaan seperti ini justru membuat saya sedikit bersemangat. Jujur saja, masa SMA memberi saya banyak tekanan karena saya wajib bisa beradaptasi dengan orang-orang yang sebenarnya tidak terlalu saya inginkan ada dalam hidup. Apalagi saya kan tipe yang resesif, hampir tidak berani bilang tidak pada hal yang saya tidak setuju. Jadi, masa SMA lumayan menyisakan kenangan horror untuk saya (walaupun yang indah juga lumayan banyak). Jadi, saya berpikir akan menjalani hidup yang mudah dengan kuliah-pulang-dan kadang berkumpul dengan komunitas weaboo saya, yang tentunya sudah sangat cocok dengan saya sebab kami semua satu minat, yaitu pop-culture Jepang. Intinya, membuat kuliah sebagai masa tanpa drama pertemanan.
Awalnya saya kira rencana saya berjalan lancar, hingga akhirnya saya bertemu dengan sembilan orang ini. Sembilan orang yang sudah mematahkan teori dan keyakinan saya soal pertemanan. Sembilan orang yang sudah merusak semua rencana saya tentang kehidupan pertemanan di perkuliahan. Sembilan orang yang sudah ngerusuhi hidup saya, yang akhirnya membuat kehidupan saya sama sekali tidak menyenangkan tapi amat sangat menyenangkan. Kumpulan ini, akhirnya kami namai The Hourglass. Jangan tanya apa filosofinya dan kenapa namanya sok keren seperti itu. Nama ini akhirnya kami dapat setelah membuat tugas kelompok pada saat semester 6. Awalnya kumpulan ini disebut Frontliners oleh beberapa orang karena entah kenapa kami semua selalu duduk di bangku depan saat kuliah.
Berhubung beberapa dari kami lulus kuliah tahun lalu dan sejak itu jarang bertemu, dan saya sedang kangen, saya ceritakan sedikit tentang anak-anak The Hourglass di postingan ini X)
1. Sandra
Sandra adalah orang asli Malang, sama seperti saya. Dia adalah orang pertama yang akrab dengan saya di hari pertama masuk kuliah. Sebelum bertemu, saya tahu bahwa di jurusan saya terdapat seorang mahasiswi bernama Sandra yang rumahnya sering digunakan sebagai tempat gathering para maba, tapi kami baru hari itu bertemu.
Sejujurnya, saat kuliah saya ingin sekali menyembunyikan fakta bahwa saya seorang otaku. Bukannya saya takut di-bully atau dianggap aneh, saya cuma tidak ingin orang yang saya kenal di universitas nanti membatasi diri dengan hanya membicarakan pop-culture Jepang saat berbicara dengan saya, wawasan saya nggak nambah dong nanti. Sialnya, Sandra tiba-tiba bertanya, "Kamu suka Jepang-Jepangan?" dan saya tidak bisa menjawab tidak jujur. Apa kelihatan sekali ya memang? Dan saya baru sadar kalau cover binder saya mengandung unsur anime. Anehnya, Sandra tidak keberatan dan dia akhirnya meng-klaim bahwa dirinya fans musik Jepang, terutama aliran visual kei, walaupun katanya dia masih "cupu". Pembicaraan kami pun berlanjut tentang vokalis band kagrra yang beberapa minggu sebelum itu tewas bunuh diri setelah band-nya bubar tanpa alasan yang jelas.
Sandra saat itu mengaku ia senang bereksperimen dengan make up dan ia bisa membuat make up seperti personil band visual kei. Saya sungguh bersemangat mendengarnya dan memintanya mengajari saya kapan-kapan, berhubung saya buta sekali masalah make up. Belakangan, saya tahu ternyata dia tidak hanya jago melukis wajah dengan make up, tapi dia jago melukis macam-macam!
Anehnya, hari pertama kuliah dan pertemuan dengan Sandra itu memberi saya feeling bahwa empat tahun ke depan saya akan menjalani kehidupan yang luar biasa di Universitas. Walaupun akhirnya terbukti salah, sebab saya lulus setelah 4,5 tahun dan kehidupan saya di perkuliahan amat-sangat-luar biasa-menyenangkan.
2. Eny
Eny adalah teman seperjuangan saya pada saat ujian skripsi dan kami mendapat kesempatan untuk lulus dan wisuda bersama. Setelah lulus, ia juga orang yang sering saya curhati masalah pekerjaan atau cinta (ampun deh). Sebagaimana Sandra, saya mengenal Eny sejak kami sekelas di semester 1. Eny adalah gadis asal Nganjuk, jadi logat Jawanya aneh sekali menurut saya (lol).
Eny orang pertama yang memperkenalkan saya pada politik kampus dan organisasi-organisasi luar kampus yang selama ini memegang kekuasaan di eksekutif mahasiswa. Mendengar penjelasannya yang menggebu-gebu pada waktu itu, saya yang masih cupu tiba-tiba begitu ketakutan akan politik. Alay sekali deh.
Pada perjalanan selama kuliah, saya tidak sering berbagi kelas yang sama dengan Eny, tapi saya dan Sandra rutin mengunjungi kosannya untuk numpang makan lalapan dan bergosip. Herannya, Eny selalu mengingatkan kami agar membeli lalapan dengan nasi sebab ia akan membagi nasi yang ia masak di kost. Sungguh mulia jasamu, En.
Salah satu percakapan konyol saya dengan Eny adalah bertanya padanya saat semester 1. Saat itu, saya naksir seseorang di kelas kami dan saya tahu Eny pernah memuji-muji cowok yang saya suka itu. Jadi saya mengaku pada Eny kalau saya naksir cowok itu dan memastikan apakah Eny naksir juga. Eny menepis hal tersebut dan berkata, ia tidak suka cowok kurus. Ia lebih suka cowok yang gendut seperti Pakdhe, karena lucu, katanya.
3. Pakdhe
Pakdhe punya nama asli Fany. Tapi karena kami punya Fani yang lain di kelompok ini, yaitu si Fanyut, maka kami memanggil Fany dengan nama Pakdhe. Awalnya ini ide iseng saya dan Sandra untuk membuat silsilah keluarga dengan anggotanya anak sekelas di semseter 1. Saat itu kami memutuskan menjadikan Fany sebagai pakdhe. Herannya, ia begitu bangga saat kami bilang akan menjadikannya "pakdhe". Sejak saat itu, entah kenapa ke-pakdhe-annya menyebar. Seisi kelas mendadak ikut memanggilnya Pakdhe. Ia pun makin menjiwai perannya sebagai pakdhe. Ia mengopeni kami semua dan berbicara dengan gaya seolah kami adalah keponakannya yang masih SD.
Pakdhe adalah mahasiswa yang sangat pintar dalam berargumen. Saat ia mulai menanggapi suatu ide di kelas, terutama kalau topiknya media, ia akan bicara panjaaaaaaaaaaang lebar sehingga membuat seisi kelas melongo (dan ada yang menguap, saya misalnya). Kamudian, keheningan panjang terjadi setelah pakdhe selesai bicara, sebelum dosen memecahnya.
Pakdhe adalah seorang otaku, sama sepertiku, sedihnya. Kadang, ke-otaku-an pakde bisa hilang tapi kadang bisa kumat. Kalau ia sampai kumat, maka semua orang akan menumbalkan saya untuk mendengarkannya bicara, karena katanya cuma saya yang mampu meng-handle-nya.
4. Fanyut
Fanyut alias Fani adalah manusia paling endel di kumpulan ini. Gaya bicaranya manja-manja tapi kata-katanya sungguh bully. Kan sial. Dia sangat hobi stalking para lelaki "calon imam kita bersama" -lelaki berwajah rupawan yang notabene hafizh qur'an, ustadz, atau orang dengan pekerjaan mapan, biasanya lulusan pesantren. Saya sering mampir ke kosan Fanyut untuk minta wejangan soal style hijab, sekalian minta tutorial hijab, apalagi waktu jaman awal jadian dengan pacar saya dulu. Dih :(((
Fanyut adalah putri bungsu seorang kiyai NU (nadhatul ulama) dan punya dua kakak laki-laki. Berdasarkan ceritanya, keluarganya sepertinya sangat akrab dan menyenangkan. Sedihnya, Fanyut harus kehilangan ibunya untuk selamanya saat kami semua menempuh semester 3. Awalnya, kami semua merasa kasihan karena sepertinya ia sangat menyayangi ibunya, mengingat dia anak bungsu dan perempuan satu-satunya. Namun setelah dia bercerita, "Kemarin ayahku bilang, 'malem minggu kok ditemenin dua anak masih jomblo semua' terus masku bilang 'ayah sendiri duda'," dengan nada genitnya, rasanya kami semua ingin menamparnya dan minta rasa kasihan kami dikembalikan karena sudah dia sia-siakan.
Pada saat semester 8, tiba-tiba kami mendapat kabar bahwa Fanyut kembali kehilangan orang tuanya yang tersisa untuk selamanya. Hari itu, entah kenapa terasa berat untuk kami semua. Untungnya, Fanyut memiliki kakak-kakak yang baik hati dan memperhatikan dia. Suatu hari, ia pernah curhat pada kami semua, "Aku udah nggak semangat nyelesein kuliah. Habis aku lulus juga mau banggain siapa, Ayah nggak punya, Ibu nggak punya, pacar juga nggak punya,"yang sayangnya ia ucapkan dengan nada genit sambil tertawa-tawa. Kami pun mengalami dilema antara ingin kasihan atau ingin menampar bokongnya.
5. Afrizal
Member kami yang tidak kalah cerewetnya dengan Fanyut adalah Afrizal alias Ijal. Di antara kami semua, Afrizal adalah yang paling sosialita. Ia punya banyak teman ngehits karena ia sendiri ngehits (lol). Ijal termasuk MC kondang yang jam terbangnya sudah cukup tinggi.
Pada awalnya, Ijal adalah orang yang membuat saya mengheningkan cipta di hari pertama kuliah karena ia "accidentally" mengajukan diri jadi ketua kelas. Kejadian ini menurutnya merupakan sebuah "kecelakaan" karena ia punya kebiasaan buruk menumbalkan diri berada di posisi tidak menyenangkan ketika tidak ada orang lain yang mau (iyalah!). Hari itu, Ijal masih tampak seperti anak desa yang benar-benar kasihan. Ia tinggal di sebuah pesantren karena pada awalnya ingin belajar mengaji sambil kuliah, tetapi ternyata pesantren ini memiliki jadwal yang ketat sehingga membuatnya tidak fleksibel untuk kerja kelompok. Ia juga baru saja kehilangan tas beserta seluruh isinya karena dicopet, dan di hari pertama kuliah ia menumbalkan kehidupan semester 1-nya untuk mengurus kelas yang pada akhirnya nanti belum tentu bakal berterima kasih padanya padahal menjadi ketua kelas memberinya cukup banyak tugas tambahan.
Akan tetapi, Tuhan tidak pernah tidur, Bung. Semua nasib buruk yang diterima Ijal nampaknya justru membuat kehidupannya makin lama makin membaik. Saat ini, di angkatan kami mungkin tidak ada yang tidak mengenal Afrizal. Ia memiliki banyak teman dan channel, membuatnya kebanjiran job sebagai entertainer, dan baru-baru ini ia sedang dalam perjalanan mewujudkan mimpinya menjadi seorang duta! Wow!
karena postnya sudah panjang. Bersambung ke Part II ya ;)